LaskarBanten.com-Pandeglang.
Situs Kolam
Purba Salakanagara Cihunjuran Yang pertama adalah Situs Cihunjuran. Lokasinya di Desa
Cikoneng, sekitar 2 kilometer dari Pasar Pari, sebelum jalan masuk ke jalur
pendakian Gunung Pulosari di Desa Cilentung. Ini adalah sebuah komplek
pemandian dengan mata air yang sangat jernih. Di jalan masuk menuju komplek
pemandian, kami melihat kolam-kolam alami dengan banyak batu-batu berukuran
besar.
Di dalam
kompleks permandian, yang paling menarik adalah melihat susunan kelompok batu
menhir bertebaran. Lokasinya di belakang pos masuk, di depan dan belakang bangunan
padepokan yang menjadi lokasi tujuan peziarah, serta bentukan batu-batu
berlumut yang mengingatkan kami pada situs-situs di seputar Gunung Salak.
Beberapanya adalah batu lumpang, batu berlubang dan batu monolit. Dari berbagai
bentukan batu, dugaan lainnya adalah situs ini merupakan bekas lokasi pemujaan.
Tulisan
"Salakanagara Cihunjuran" akan segera mengingatkan kita pada sebuah
nama kerajaan Hindu tertua di Pulau Jawa bernama Salakanagara, yang lokasinya
dipercaya berada di seputar Teluk Lada Banten. Peziarah yang kami
temui juga sangat mempercayai bahwa lokasi ini adalah salah satu bekas lokasi
kerajaan Salakanagara.
Catatan dari Penelitian Arkeologi pada tahun 2002 di seputar lereng Gunung Pulosari, bahwa Situs Cihunjuran diduga pernah dihuni oleh kelompok masyarakat agraris yang sudah mengenal barang-barang dari luar. Adanya temuan fragmen keramik asing dan lokal serta manik-manik, memperkuat dugaan tersebut (Hatmadji, 2005). Meskipun, dari sisi kelilmuan, masih terlalu dini untuk langsung mengaitkannya dengan keberadaan kerajaan Salakanagara, yang berjarak ratusan tahun dengan kerajaan terakhir di Banten.
Catatan dari Penelitian Arkeologi pada tahun 2002 di seputar lereng Gunung Pulosari, bahwa Situs Cihunjuran diduga pernah dihuni oleh kelompok masyarakat agraris yang sudah mengenal barang-barang dari luar. Adanya temuan fragmen keramik asing dan lokal serta manik-manik, memperkuat dugaan tersebut (Hatmadji, 2005). Meskipun, dari sisi kelilmuan, masih terlalu dini untuk langsung mengaitkannya dengan keberadaan kerajaan Salakanagara, yang berjarak ratusan tahun dengan kerajaan terakhir di Banten.
Kami ikut
mencuci muka dan menikmati kesejukan di mata air Situs Cihunjuran. Begitu
kontras air yang kebiruan dengan selimut lumut yang menyelubungi berbagai
bentukan batu di sekeliling mata air. Pengunjung juga dapat mandi-mandi di
kolam yang lebih besar di sebelah mata air, dengan membayar Rp 5.000 per orang.
Di sisi situs ini pun sudah terdapat area berkemah yang cukup nyaman.
Situs Cihunjuran di
kaki Gunu
ng Pulosari, Kec. Mandalawangi, Kab. Pandeglang
Sanghyang Dengdek dan Sanghyang Heuleut
Bimo dan saya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan ojek. Kedua supir
ojek yang kami tumpangi tidak mengetahui lokasi keberadaan arca. Namun,
nama Sanghyang Dengdek membuat mereka akhirnya membawa kami ke
desa terdekat dengan nama tersebut di Kecamatan Saketi. Lokasinya sekitar 6
kilometer dari Desa Cilentung ke arah Menes.
Kami melewati jalan bebatuan yang memotong hutan. Dari petunjuk warga yang
kami temui, sampailah kami ke lokasi arca pertama: Sanghyang Dengdek. Tidak ada
juru pelihara siang itu. Arca tersebut nyaris tidak terlihat karena terbebat
kain putih yang menyelubungi.
"Buka saja kain penutupnya, tetapi nanti tolong dipasang lagi ya" kata Ibu Eli, warga yang rumahnya dekat sekali dengan lokasi arca. Arca sudah berada di bangunan bercungkup dengan keramik putih dan pagar kawat di sekelilingnya dengan tanda plang cagar budaya.
"Buka saja kain penutupnya, tetapi nanti tolong dipasang lagi ya" kata Ibu Eli, warga yang rumahnya dekat sekali dengan lokasi arca. Arca sudah berada di bangunan bercungkup dengan keramik putih dan pagar kawat di sekelilingnya dengan tanda plang cagar budaya.
Keberadaan arca ini ternyata sudah diketahui dari catatan
Pleyte (1913), lalu penelitian arkeologi pada tahun 1970-an, Tinggi arca
ini yaitu 95 cm, dengan keliling badan 120 cm dan keliling kepala 20 cm dan
terbuat dari batu andesit (Hatmadji, 2005, hal 47). Laporan penelitian
yang berjudul "Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten
Girang" (1996), menyebutkan keberadaan arca primitif ini menyiratkan
lokasi ini adalah bekas pemujaan.
Arca ini memiliki bagian kepala, lengan dan bentuk kelamin laki-laki, namun
tidak begitu jelas. Bentuknya agak kasar. Arca semacam ini termasuk tipe
Polinesia dan biasanya akan menyandang nama "Dewa" yang dipuja.
Untuk Sanghyang Heuleut, orang menyebutnya dengan nama "Si bungkuk
yang terpuja" karena bentuk arcanya secara alami agak membungkuk. (Guillot
et al, 1996).
Pada Sabtu, 20 April 2019, kami membuka selubung arca dari balutan kain
kafan putih. Hanya terlihat bagian besar seperti kepala (berupa batu bundar,
tidak terlihat bekas pahatan mata, hidung dan mulut), bagian bahu yang
berbentuk agak kotak. Kami tidak membuka selubung bagian bawah arca. Selubung
putih ini nampaknya disematkan oleh para peziarah. Di dekat arca pun tercium
wangi bekas bakaran dupa.
Ibu Eli menawarkan kami untuk melihat arca ke-dua, yaitu Sanghyang
Heuleut. Sayang sekali catatan saya hilang untuk nama lokal yang disematkan
warga kepada dua arca ini. Berbeda dengan Sanghyang Dengdek yang terletak di
pinggir jalan, lokasi Sanghyang Heuleut terletak di tengah kebun warga. Kami
harus melewati sungai kecil untuk mencapainya. Tidak ada cungkup
pelindung dan lantai keramik di lokasi ini. Sanghyang Dengdek hanya dilindungi
oleh pagar kawat keliling dan plang situs bertuliskan cagar budaya.
Sanghyang Heuleut terletak di tengah kebun warga.
"Pelindung" arca masa kini adalah balutan kain kafan putih yang
nyaris melindungi sekujur arca yang begitu kami buka selubungnya, ternyata
sebuah menhir. Tingginya yaitu 139 cm. Belakangan, kami baru tahu kalau kedua
arca ini secara geografis berada di antara dua aliran sungai, yaitu Sungai
Cisirah Agung dan Sungai Cisata (Hatmadji, 2005, hal 47). Hal ini lagi-lagi
masih konsisten dengan berbagai peninggalan purba di seputar Gunung Salak, yang
kalau tidak berada di antara dua lembah, terletak di sisi sungai atau dua
aliran sungai, seperti Prasasti Pasir Muara dan Prasasti Ciaruteun di Ciampea.
Sayang sekali karena keterbatasan waktu dan cuaca yang semakin mendung
gelap, mengharuskan kami untuk segera berlalu dari lokasi menarik ini.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pandeglang pada tahun 2013 menyebutkan bahwa setidaknya adal 202 benda cagar budaya di Kabupaten Pandeglang. Benda cagar budaya tersebut termasuk 96 situs, 20 bangunan dan 86 makam keramat. Alangkah baiknya, jika dinas berwenang turut melengkapi lokasi-lokasi peninggalan sejarah budaya ini dengan informasi. Sehingga ada informasi yang akurat bagi pengunjung yang ingin tahu.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pandeglang pada tahun 2013 menyebutkan bahwa setidaknya adal 202 benda cagar budaya di Kabupaten Pandeglang. Benda cagar budaya tersebut termasuk 96 situs, 20 bangunan dan 86 makam keramat. Alangkah baiknya, jika dinas berwenang turut melengkapi lokasi-lokasi peninggalan sejarah budaya ini dengan informasi. Sehingga ada informasi yang akurat bagi pengunjung yang ingin tahu.
Sanghyang Dengdek,
lokasinya di pinggir jalan
Jejak Kerajaan Hindu ?
Catatan lain yang harus kami sertakan di sini adalah adanya berbagai jejak
peninggalan budaya di seputar lereng Gunung Pulosari, dari mulai menhir, punden
berundak, batu dakon, hingga ini pernah ditemukan berbagai arca yang berciri
Hindu.
Arca-arca ini menggambarkan Siwa Mahadewa, Durga, Betara Guru, Ganesa dan
Brahma serta sebuah lapik berhiaskan seekor naga. Lapik dan ke-lima arca ini
ditemukan di dekat kawah Gunung Pulosari dan sempat menghiasi taman Asisten
Residen Belanda dan dikenal dengan nama "arca-arca Caringin".
Arca-arca di Pulosari ini sudah dipindahkan ke Museum Nasional, Jakarta.
Penemuan arca berciri Hindu ini membuat ilmuwan Friedrich menarik
kesimpulan yang menyebutkan bahwa ada kerajaan Hindu di Banten sebelum zaman
Pajajaran. "Dugaan kami adalah bahwa sejumlah pendatang Hindu pernah menetap
di pesisir yang nyaman ini dan mendirikan sebuah kerajaan makmur yang
kekayaannya berasal dari perniagaan di Selat Sunda" demikian kesimpulan
Friedrich pada tahun 1850, pada saat meneliti arca-arca tersebut.
Ketiga gunung berapi yang berada di Kabupaten Pandeglang ini cukup menarik.
Dari peta, lokasi ketiga gunung ini seperti 'berkumpul' membentuk segitiga.
Yang paling tinggi adalah Gunung Karang (1.778 m), disusul dengan Gunung
Pulosari (1.364 m) dan Gunung Aseupan (1.174 mdpl). Ketiganya tidaklah
terlalu tinggi, namun jalurnya terkenal cukup sulit dan terjal.
Di antara ketiga gunung ini, Gunung Pulosari yang dianggap paling keramat.
Hal ini nantinya ada hubungannya dengan Sunan Gunung Jati dan puteranya,
Hasanudin dari Demak, Banten Girang dan akhir dari Kerajaan Pakuan Pajajaran
hingga awal mula Islam di Banten.
Tapi itu nanti, di bagian tulisan selanjutnya.
Tulisan: Diella Dachlan
Foto: Bimo Tedjokusumo, Diella Dachlan
Referensi:
Tapi itu nanti, di bagian tulisan selanjutnya.
Tulisan: Diella Dachlan
Foto: Bimo Tedjokusumo, Diella Dachlan
Referensi:
Guillot, C., Nurhakim, L., Wibisono, S., Adhyatman, S., franaise
d'Extrme-Orient, ., & Nasional, P. P. A. (1996). Banten sebelum
zaman Islam: kajian arkeologi di Banten Girang (932?-1526). Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional.
Guillot, C. (2008). Banten-Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII.
Kepustakaan Populer Gramedia.
Hatmadji, H. T. (2005). Ragam Pusaka Budaya Banten. Direktorat
Jenderal Kebudayaan.
Sari, Dwi Mayang (2014). Manajemen Pengelolaan Situs Batu Goong
dan Komplek Makam Syekh Mansyur oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Pandeglang Provinsi Banten. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
0 comments:
Post a Comment