Perjalanan menuju Suku Baduy Dalam,
memberikan suasana berlibur yang berbeda bagi orang-orang yang tinggal di kota
besar seperti saya.
Tapi saya rasa Kampung Cikeusik yang jarang dikunjungi
wisatawan ini adalah tempat terbaik bagi orang-orang pencari “privasi” dan
ingin benar-benar menikmati keasrian Suku Baduy Dalam.
Berikut informasi yang belum kamu ketahui tentang Suku Baduy
Dalam;
1. Suku yang hemat dan gemar berjalan kaki
Adanya larangan menggunakan kendaraan seperti motor atau pun
mobil, tidak membuat Suku Baduy Dalam merasa terasing dari dunia luar.
Pertemuan dengan Kang Ralim warga Suku Baduy Dalam membuat saya terkagum bahwa
Suku Baduy Dalam selalu berjalan kaki apabila mengunjungi kerabatnya yang
tinggal di kota besar untuk bertamu maupun berjualan hasil ladang dan kerajinan
tangan khas Suku Baduy Dalam.
“Pernah saya jalan kaki dari sini (Kampung Cikeusik) sampai
Bekasi/ Bogor buat ketemu teman” kata Kang Ralim dengan logat nya yang unik.
2. Kekayaan tidak dilihat dari bentuk rumah
Tidak seperti orang yang tinggal di kota pada umumnya yang
memiliki rumah besar selalu identik dengan orang kaya, berpangkat tinggi, dan
dipandang banyak orang. Lain halnya dengan Suku Baduy Dalam yang bentuk
rumahnya hampir serupa satu sama lainnya. Yang membedakan status kekayaan
mereka adalah tembikar yang dibuat dari kuningan yang disimpan di dalam rumah.
Semakin banyak tembikar yang disimpan, menandakan status keluarga tersebut
semakin tinggi dan dipandang orang.
3. Gemar bergotong royong
Sifat gotong royong selalu diterapkan oleh Suku Baduy
Dalam pada saat mereka harus berpindah tempat dari satu wilayah ke wilayah lain
yang lebih subur. Sebagai suku nomaden (tidak
memiliki tempat tetap) dan menganut sistem ladang terbuka, membuat Suku Baduy
Dalam hidup saling membantu.
4. Ayam merupakan makanan mewah
Tidak seperti masyarakat pada umumnya yang
biasanya menyediakan menu ayam pada setiap makanan yang disajikan, tidak
begitu dengan Suku Baduy Dalam. Walaupun kita bisa menemukan ayam berkeliaran
bebas di kampung, bukan berarti ayam bisa menjadi makanan sehari-hari. Suku
Baduy Dalam hanya menyantap hidangan ayam setidaknya 1 bulan sekali atau hanya
pada saat upacara-upacara besar, seperti pernikahan dan kelahiran.
5. Pu’un, layaknya presiden di Kampung Baduy Dalam
Foto oleh Ashadi Natha
Setiap suku yang tinggal di Indonesia pasti memiliki kepala
adat yang berfungsi mengatur warganya. Begitu juga Suku Baduy Dalam yang
memiliki kepala adat yang biasa dipanggil Pu’un. Pu’un adalah orang yang memiliki kelebihan yang berbeda
dibanding warga biasa. Tugas dari Pu’un yaitu
menentukan masa tanam dan panen. Menerapkan hukum adat kepada warganya,
mengobati yang sakit.
“Hanya orang-orang yang memiliki kepentingan khusus yang
bisa bertemu Pu’un” Tegas Kang Ralim.
6. Larangan berkunjung selama 3 bulan
Warga Baduy Dalam menjalankan tradisi Kawalu. Kawalu adalah
puasa yang dijalankan oleh warga Baduy Dalam yang dirayakan tiga kali selama
tiga bulan. Pada puasa ini warga Baduy Dalam berdoa kepada Tuhan agar negara
ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera.
Pada saat tradisi Kawalu dijalankan, para pengunjung
dilarang masuk ke Baduy Dalam. Apabila ada kepentingan, biasanya pengunjung
hanya diperbolehkan berkunjung sampai Baduy Luar namun tidak diperbolehkan
menginap.
7. Perjodohan masih berlaku
Sebuah hal yang tidak lazim dilakukan pada zaman sekarang
namun masih berlaku di Suku Baduy Dalam. Seorang gadis yang sudah berumur 14
tahun akan dijodohkan dengan laki-laki yang berasal dari Suku Baduy Dalam.
Selama masa penjodohan, orang tua dari laki-laki Baduy Dalam bebas memilih
wanita Baduy Dalam yang disukainya. Namun jika belum menemukan pilihan yang
cocok, laki-laki maupun perempuan harus menuruti pilihan sang orang tua ataupun
pilihan yang diberikan oleh sang Pu’un.
8. Tak ada gelas, batang bambu pun jadi
Pelarangan menggunakan gelas serta piring sebagai tempat
untuk menyimpan air dan alas untuk makan tidak membuat Suku Baduy Dalam
kehilangan akal. Dibekali sumber daya alam yang banyak, Suku Baduy Dalam
membuat gelas serta tadah air minum yang terbuat dari bambu panjang.
“Aroma khas dari bambu akan keluar pada saat kita menyeduh
kopi panas di dalam cangkir bambu ini yang membuat rasa kopi menjadi berbeda.”
Tegas Kang Ralim.
“Tidak banyak aktivitas yang bisa kita lakukan pada malam
hari karena keterbatasan cahaya.”
“Biasanya alat musik seperti kecapi yang menemani malam kami
sambil mengobrol dengan tetangga, Dengan cara seperti ini, kami sudah bahagia”
Cerita Kang Ralim menggambarkan kondisi malam hari di Suku Baduy Dalam.
10. Cita-cita sederhana orang tua Suku Baduy Dalam
“Membantu orang tua berladang,” begitu ucapan Kang Ralim
terhadap pertanyaan yang saya ajukan mengenai cita-cita orang tua terhadap
anak-anak Suku Baduy Dalam.
Tak muluk-muluk bukan? Sangat sederhana jika didengar oleh
telinga orang ‘modern’ seperti saya, namun justru di situ kearifan lokal
mereka. Hal-hal sepele yang sering terlupa oleh kita, ‘ketidak neko-neko-an’
dan prinsip hidup yang sederhana membuat hidup lebih bahagia dan tenang.
0 comments:
Post a Comment