Sejarah Prabu Kian Santang dimulai ketika ia lahir pada tahun 1315 dari
Prabu Siliwangi dan salah satu prameswarinya yang memiliki nama Dewi
Kumala Wangi atau Nyi Subang Larang. Kian Santang merupakan anak sulung
dari tiga bersaudara yaitu dirinya sendiri, Dewi Rara Santang, dan
Walangsungsang. Konon katanya, sedari kecil Kian Santang adalah seorang
anak yang tangguh sampai ada cerita bahwa ia belum pernah melihat
darahnya sendiri dikarenakan belum pernah ada orang yang berhasil
melukainya sama sekali. Takjub dengan kemampuannya sendiri, Kian Santang
terus mencari siapakah gerangan yang memiliki ilmu jauh lebih kuat
darinya.
Ketika Kian Santang menginjak usianya yang ke-22 pada tahun 1337 masehi,
ia diangkat menjadi dalem Bogor. Kejadian ini bertepatan dengan
diangkatnya Prabu Munding Kawati sebagai panglima besar kerajaan
Pajajaran. Kejadian tersebut menjadi sebuah kejadian paling istimewa dan
paling historis dalam lingkungan Pajajaran karena kejadian ini
meninggalkan sebuah prasasti yang dikenal banyak orang, yaitu Batu Tulis
Bogor.
Ada beberapa versi tentang sejarah Prabu Kian Santang yang merasa
terlalu kuat sehingga ia mencari lawan yang sepadan untuknya. Versi
pertama adalah ia meminta ayahnya untuk mencarikan siapapun itu yang
bisa mengalahkannya. Mendengar ini, sang ayah segera memanggil seorang
ahli nujum demi memberikan tantangan kepada anaknya. Ketika hampir putus
asa karena tidak ada ahli nujum yang mampu memberi tahu dimana ada
orang yang mampu mengalahkannya, datanglah seorang kakek yang berkata
bahwa jauh di tanah Mekkah sana, ada seseorang bernama Sayyidina Ali
yang mampu mengalahkan Kian Santang. Sebelum Kian Santang mampu melawan
Ali, kakek tersebut berkata bahwa Kian Santang harus melakukan mujasmedi
di Ujung Kulon dan mengubah namanya menjadi Galantrang Setra yang jika
diartikan secara harfiah menjadi “berani dan suci”. Versi kedua
mengatakan bahwa pertemuan Kian Santang dan kakek tua terjadi di dalam
mimpi yang berulang berkali-kali, dimana akhirnya sang Kakek menunjuk ke
arah lautan dan berkata bahwa orang yang mampu mengalahkan Kian Santang
ada di seberang lautan.
Terlepas dari beberapa versi yang berbeda tentang pertemuan Kian Santang
dengan sang kakek, hal yang pasti adalah kemudian Kian Santang pergi
untuk mencari kakek ini. Lagi, beberapa versi menggambarkan hal yang
tidak sama dimana satu versi menyatakan Kian Santang pergi ke Mekkah dan
yang satu lagi hanya mengatakan bahwa Kian Santang pergi menyeberangi
lautan. Ketika akhirnya tiba di tempat tujuan, ia tidak langsung bertemu
dengan orang yang bernama Ali tapi harus tersesat di antara keringnya
padang pasir sebelum akhirnya bertemu seorang kakek tua. Pertemuannya
dengan sang kakek ini ada dalam semua versi cerita, dan hal yang
ditugaskan oleh sang kakek sebelum mengantarkan Kian Santang bertemu
dengan Ali juga sama, yaitu Kian Santang harus mencabut sebuah tongkat
yang ditancapkan ke tanah.
Lagi-lagi sejarah Prabu Kian Santang mengalami perbedaan versi ketika
satu versi menyatakan begitu Kian Santang mengaku kalah, kakek yang
meminta tolong untuk dicabutkan tongkatnya adalah Ali, sementara versi
lain mengatakan bahwa Ali kemudian datang untuk mencabut tongkat
tersebut setelah sebelumnya membaca bismillah. Terlepas mana yang
terjadi, Kian Santang kemudian memeluk agama Islam dan kembali pulang ke
Pajajaran dengan sesekali pergi ke Mekah untuk belajar lebih dalam
tentang agama tersebut.
Penyebaran Islam Oleh Kian Santang
Awal mula niatan penyebaran Islam oleh Kian Santang adalah ketika ia
pertama kali kembali ke Pajajaran dan menceritakan tentang ke-Islamannya
pada Prabu Siliwangi. Bukannya senang, Prabu Siliwangi malah kaget dan
menolak ajakan anaknya untuk masuk Islam. Karena hal ini, Kian Santang
kembali menekuni Islam di Mekah dan baru kembali setelah tujuh tahun.
Begitu kembali, ia mencoba untuk pertama-tama menyebarkan ajaran agama
yang baru ia pelajari kepada masyarakat sekitar. Mengingat ide agama
Islam yang membawa keselamatan di dunia dan di Akhirat, masyarakat
Pajajaran dengan senang hati menerima agama baru tersebut. Baru setelah
banyak masyarakat yang menganut Islam ia berani memutuskan untuk kembali
mengajak ayahnya menganut agama yang ia ajarkan.
Mendengar berita bahwa Kian Santang telah kembali, Prabu Siliwangi yang
harga dirinya terlalu tinggi memutuskan untuk pergi dari kerajaan
daripada harus diajak untuk masuk Islam. Setelah kabur dengan sebelumnya
menghancurkan kerajaan, Prabu Siliwangi sempat beberapa kali terkejar
oleh Kian Santang, tapi ia tetap tidak tertarik untuk masuk ke dalam
agama Islam. Akhirnya, Kian Santang dengan berat hati kembali ke
Pajajaran untuk membangun ulang kerajaan tersebut sambil terus
menyebarkan ajaran Islam ke daerah-daerah pelosok. Karena hal inilah,
ketika kita membicarakan tentang berkembangnya Islam di daerah Jawa
Barat, kita tidak bisa melupakan sejarah Prabu Kian Santang.
0 comments:
Post a Comment