LaskarBanten-Eropa
Tahun ini menjadi tahun keempat bagi Zaenal Muttaqin menjalani Ramadan di Inggris. Zaenal sedang mengambil program doktoral di University of Manchester. Di kota yang yang baru-baru ini mendapat serangan teror bom itu, Zaenal tinggal bersama istri dan dua orang anaknya. Mereka menetap di daerah bernama Rusholme—sekitar dua kilometer dari kampus.
Jika dibandingkan berpuasa di Indonesia, tiga kali Ramadan yang sudah dilalui Zaenal di Manchester terasa lebih berat. Ia harus bangun sahur jam 2 pagi dan buka puasa jam 21.30 malam. Tahun ini pun akan seperti itu.
Selama tiga tahun itu pula, Ramadan di Inggris selalu bertepatan dengan musim panas. Begitu pula tahun ini. Memang, suhu udara saat musim panas di Inggris masih lebih rendah jika dibandingkan Jakarta. Tahun ini, suhu diperkirakan sekitar 27 derajat, sementara di Jakarta bisa melebihi 31 derajat celcius.
“Tetapi bagi yang sudah terbiasa dengan suhu belasan di sini, lalu harus puasa 19 jam di suhu 27 derajat, awalnya pasti berat sekali,” kata Zaenal kepada Tirto.
Karena tahun ini adalah tahun keempatnya, Zaenal dan keluarga sudah lebih terbiasa. Tetapi dia masih ingat betul betapa terasa melelahkannya puasa 19 jam pada tahun pertamanya di kota itu. Tubuhnya terasa lemas sekali. Apalagi harus beradaptasi dengan jam tidur yang terganggu.
Warga Inggris yang berpuasa baru buka puasa jam 21.30 malam, salat tarawih selesai sekitar jam 24.00. Lalu, dua jam kemudian mereka harus sahur. Akibatnya, banyak orang yang kemudian tidak tidur dan memilih tidur setelah salat Subuh, sekitar jam 03.00. Bagi mereka yang kuliah atau bekerja, harus sudah memulai aktivitas jam 9.00 pagi. Jadi, rata-rata waktu tidur yang mereka punya hanya lima jam selama Ramadan.
Persoalan lain adalah mengatur asupan makanan saat buka puasa dan sahur. Waktu buka puasa dan sahur yang begitu dekat membuat mereka seringkali tidak merasa lapar saat sahur. Tetapi jika tidak makan sahur, akan terasa sangat lapar, terutama di siang hari.
Zaenal seringkali tak makan sahur. “Seringnya sih masih kenyang, jadi enggak sanggup makan juga,” katanya.
Untuk tetap menjaga stamina, Zaenal biasanya minum sangat banyak ketika sahur. Dia jarang makan berat saat sahur, biasanya hanya makanan ringan seperti roti.
“Semakin lama, kami semakin terbiasa. Melelahkan memang, tetapi toh kami sudah melewatinya selama tiga tahun,” kata Zaenal.
Untuk persoalan ibadah, Zaenal merasa tidak sulit menemukan mesjid di Manchester. Menurut sensus penduduk tahun 2011, sekitar 15 persen penduduk Manchester beragama Islam. Di Rusholme—tempat Zaenal tinggal—saja ada empat masjid. Biasanya, setiap komunitas muslim memiliki masjid sendiri.
Di Rusholme, dua dari empat masjid itu dimiliki komunitas Muslim Pakistan, satu mesjid milik komunitas Muslim asal Bangladesh, dan satunya lagi milik Somalia. Akan tetapi, masjid-masjid itu terbuka bagi siapa saja.
Selama Ramadan, masjid-masjid di Inggris akan menyediakan makanan berbuka puasa dan sahur. “Ini waktu yang tepat bagi mahasiswa yang ingin berhemat, asal mereka rajin ke mesjid saja, makanan sudah terjamin,” ujar Zaenal sambil tertawa.
Di Manchester, biaya sekali makan di area bisnis sekitar 9 poundsterling atau sekitar Rp160 ribu. Kalau sehari saja seseorang mengeluarkan biaya makan sekitar Rp320 ribu selama ramadan, dalam sebulan, ia bisa menghemat sekitar Rp9,6 juta.
Satu Juz untuk Sekali Tarawih
Di Indonesia, sedikit sekali masjid yang membaca satu juz satu malam saat tarawih. Biasanya yang dibaca saat tarawih hanyalah surat-surat pendek. Di Inggris, semua mesjid menerapkan satu juz satu malam. Jadi, selama 30 hari Ramadhan, mereka khatam satu Alquran.
Namun, bacaan yang panjang itu akan membuat tarawih selesai lebih lama. Bagi yang belum terbiasa, itu akan terasa sangat berat. Apalagi salat tarawih dilakukan di jam-jam yang biasanya dipakai untuk tidur.
Meski begitu, Zaenal merasa lebih nyaman dan nikmat menjalani Ramadan di Inggris dibandingkan di Amerika Serikat. Sebelum tinggal di Inggris, ia dan keluarganya tinggal di Philadelpia selama dua tahun. Waktu itu, Zaenal mengambil pendidikan master di Temple University.
Di Inggris, kata Zaenal, komunitas Muslim-nya banyak, jadi nuansa Ramadan lebih terasa jika dibandingkan dengan Amerika. Selain itu, musim panas di Inggris juga tak sepanas di Amerika.
Ramadan Pascabom Manchester
Senin malam 22 Mei 2017 lalu, terjadi serangan bom bunuh diri di Manchester. Serangan bom terjadi beberapa saat setelah konser Ariana Grande usai. Serangan di Manchester Arena, lokasi konser, itu menewaskan 22 orang.Pelakunya diduga adalah warga Manchester keturunan Libya dan beragama Islam, bernama Salman Abedi.
Kejadian itu sempat memicu kekhawatiran di kalangan umat Islam Manchester. Mereka cemas akan menjadi sasaran balas dendam sebagai imbas dari serangan itu. Mereka khawatir toleransi yang selama ini terjalin rusak karena segelintir orang. Tetapi kekhawatiran itu tidak terjadi.
Sampai hari ke tiga setelah bom, Zaenal melihat penduduk lokal justru melindungi umat Islam. “Tetap ada saja satu dua orang yang sinis, tetapi tidak sampai ada pelecehan ataupun diskriminasi meskipun dalam bentuk verbal,” kata Zaenal.
“Saya yakin Ramadan tahun ini juga tak akan diganggu, karena negara ini menerapkan multikulturalisme yang kuat,” ungkap Zaenal.
Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan menarik lainnya Wan Ulfa Nur Zuhra
Sumber: tirto.id
0 comments:
Post a Comment